Tak seperti biasanya, udara terasa lebih panas, walau di luar ruangan. Memandang langit, tak satu pun bintang menampakkan sinarnya. Sepertinya mendung, tapi yang terlihat hanya kelam menghiasi langit malam ini. Keraguan mulai menghampiri. Dari siang tadi sudah kurencanakan untuk kembali berselancar di dunia maya secara gratis di antara gulungan WiFi, tapi malas juga bila harus pulang dalam keadaan basah dengan jas yang sama sekali tak nyaman dikenakan.
Hasrat online pun mengalahkan raguku. Kupacu kuda besi buatan Jepang itu perlahan-lahan, untuk memastikan bila sewaktu-waktu bidadari menangis lebih awal. Sampai pada titik-titik gelombang gratis, belum ada setetes air mata yang jatuh, setidaknya itu menurutku. Lampu indikator merah di papan selancarku (laptop) mulai berkedip-kedip menandakan bahwa gerbang dunia maya telah terbuka. Connected!
Berselancar melewati, menyinggahi, dan menyerap berbagai informasi dan inspirasi yang kadang kurang bisa dipertanggungjawabkan, meninggalkan jejak di beberapa laman yang sekiranya sudi untuk berkunjung ke rumah mayaku. Membuka-buka situs orang-orang hebat sebagai bahan referensi, hingga terlihat warna aneh di layar, dan juga setitik rasa dingin di punggung tanganku. Rupanya air mata bidadari sudah tak terbendung. Melihat sekitar, para peselancar lain masih asyik dengan papan selancarnya, seakan tak sadar akan datangnya segerombolan air yang terlebih dulu telah mengirimkan beberapa mata-matanya. Terlalu banyak laman yang sedang terbuka, tak ada waktu lagi untuk menyimpannya satu per satu. Hibernating...
Aku telah berada di atas kuda besi saat para peselancar itu kelimpungan menyelamatkan papan selancarnya. Segera kuhela, tancap gas. Deras, semakin cepat kupacu, jaket hitam ini segera berubah lebih mengkilat dari biasanya, hawa sejuk mulai menusuk-nusuk. Hampir sampai gerbang belakang Sebelas Maret, kubanting setir ke kiri menuju masjid. Sekilas tampak segelintir manusia pilihan sedang berbakti kepada Tuhannya. Semakin deras, dingin mulai menguasaiku. Kudengar sayup-sayup ayat-ayat-Nya terlantun, bersamaan dengan suara air yang beradu dengan apa yang ada di bumi. Di sudut lain terlihat beberapa orang yang duduk membentuk lingkaran, salah satunya terlihat lebih dominan dari yang lain. Masih karena hasrat online, kubuka jejaring sosial biru itu dengan ponsel. Update status...
Hingga seorang teman mengingatkan, itikaf...
Tenggelam di keheningan hujan. Aku menunggu di rumah-Mu, berlindung dari segala keramahan dunia, berharap pelangi di kanvas yang gelap, tak ada yang tak mungkin bagi-Mu.
Surakarta, 08 Oktober 2009, 22:49
Sangat mengena Articelnya sob, nice post
BalasHapuskalo jum'at?
BalasHapusiya yah,,
BalasHapuskalau jumat??
bagus nih.. artikelnya.. sebuah catatan perjalanan dengan kata & kalimat yang indah..
BalasHapuslanjutkan sob... ;)
Gudang Informasi
aduh dik, bosone keduwuren
BalasHapusgreat post!
Sangat sarat dengan perenungan :@
BalasHapusWah gaya penulisannya asik... meski ceritanya sederhana namun gaya penulisannya itu yang membedakan.
BalasHapusAsyik juga nih tulisannya.... Ayo, semangat menulis lagi ya..?
BalasHapus@hendrie: semoga tepat sasaran :)
BalasHapus@cah ndeso & yanuar: (maksudnya gimana ya?) kalau jumat jumatan sob :?
@Tomie: Ok sob, ayo nulis :D
@Iean: Karyoooo!!!! :))
@Laskar pelangi: biasa aja sob :@
@Shidiq: wah, saya harus banyak belajar dari Anda :o
@Reni: Iya Mbak Reni, SEMANGAT :)
@semua: terima kasih :)
a like this article...
BalasHapusSemoga kita bisa saling berbagi informasi..
:) :)
@evi: amiin, terima kasih kunjungan dan komentarnya :)
BalasHapus